Jumat, 19 September 2014

Takut Tiket..

Jemariku kaku, melepas lembar demi lembar tiket bioskop yang berserakan di meja sudut kamarnya. Mata saya terasa berat dan berair tapi tidak menetes. Masih saya pandangi dan urutkan tiket-tiket bioskop di mall ibu kota itu. Tiba-tiba satu tepukan hangat menyambut bahuku diiringi bau wangi khas sabun setelah mandi. Pria itu berkata, “Ayo berangkat...”. Ya, saya dan dia berencana makan malam bersama sahabat perempuan saya, namun saya berani bertaruh rencana ini akan batal.
Sepanjang jalan, dia menanyaiku kenapa wajahku murung, seolah saya ini biasanya gadis yang paling ceria. Saya menggelengkan kepala, dan menjawab tidak apa-apa. Kerutan mata sayu di balik kaca matanya membuat bibirku kelu untuk berkata dan selalu membalasnya dengan senyuman lebar gigi berkawatku.
Benar saja, malam itu kita hanya makan berdua tanpa sahabatku. Sahabat itu menolak ikut karena kita terlalu lama datang. Mungkin seharian kita terlalu banyak berpergian dan menghabiskan waktu berdua karena kami sadar waktu ‘berkualitas’ semacam ini tidak setiap hari kita punya. Betapa senang saya mengiris roti dan isi burger raksasa yang kita idam-idam sejak lama, walaupun rasanya biasa saja. Yang saya ingat, saya sangat senang karena bisa melihat pria itu lagi setelah hampir lupa wajahnya.
Setelah irisan burger itu habis, saya dengannya membicarakan musik yang kita dengar sekarang, soal rencanya membuat akun last.fm atau sekedar mengobrolkan rekan kerjanya di tengah laut sana. Entah bagaimana, rentetan obrolan itu sampai pada titik basa-basi. Saya memulai pertanyaan basa-basi ala saya.
“Kalau di Jakarta emang biasanya jalan ke mall sendiri ya? Nonton juga sendiri terus?”
“Iya... sendiri kok.”
“Sumpah? Demi Allah?”
Pria itu mengrenyitkan dahi, mengabaikan uluran tangan saya dan berbalik bertanya.. kenapa? Dengan rasa takut, bukan takut olehnya.. melainkan takut dengan jawaban yang ia akan berikan. Bibir saya dengar lirih berkata, “Aku melihat tiket-tiket bioskop yang berserakan di meja rumahmu. Tiket bioskop itu sepasang-sepasang. Jadi? Dengan siapa?”
Ah saya benar-benar takut! Takut karena tiket? Sampai saya menutup mata menunggu jawaban, padahal telinga saya yang mendengar. Setelah tertegun lama, pria itu menjawab. Jawaban itu mengerikan. Mengerikan seperti pengumuman ketidaklulusan seorang siswa, menyedihkan seperti mendengar orang yang paling kamu sayangi meninggal. Jawaban itu... seketika membuat bibir saya rapat berganti tangis. Lingkar dada saya seperti bertambah sepuluh senti, menjadikan saya sesak sulit untuk bernafas. Pria si penjawab pertanyaan itu mengajak saya pulang, mungkin dia malu dengan pengunjung kafe yang lumayan ramai malam itu.
Di ruang tamu, pria itu masih diam. Saya terisak. Pria itu masih diam. Saya masih juga terisak. Di tengah isak tangis itu, saya bertanya-tanya apa saya pernah menyakiti hati orang lain sedemikian rupa, sehingga pria ini membalasnya dengan beribu pedih. Entah, mungkin iya.

Maafkan saya, siapa pun.
Oh Tuhan.. karma itu ada untuk saya, kamu atau dia.


Yogyakarta, 16 September 2014

4 komentar:

  1. put ini true storymu?
    sabar yak,aku jadi ikut sedih :-(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Fadhil where have u been?!
      Welah ojok melu sedih, cuma media katarsis biar nggak gila :'D

      Hapus
  2. Put sek sabar yo. kwe kudu sinau karo Dika nek masalah kesabaran :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Siap anes aku wis diwarahi sabar ro mbak GiJu :D

      Hapus

Feel free to comment here, with clear name :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...