Jemariku kaku, melepas
lembar demi lembar tiket bioskop yang berserakan di meja sudut kamarnya. Mata saya
terasa berat dan berair tapi tidak menetes. Masih saya pandangi dan urutkan
tiket-tiket bioskop di mall ibu kota itu. Tiba-tiba satu tepukan hangat menyambut
bahuku diiringi bau wangi khas sabun setelah mandi. Pria itu berkata, “Ayo
berangkat...”. Ya, saya dan dia berencana makan malam bersama sahabat perempuan
saya, namun saya berani bertaruh rencana ini akan batal.
Sepanjang jalan, dia
menanyaiku kenapa wajahku murung, seolah saya ini biasanya gadis yang paling
ceria. Saya menggelengkan kepala, dan menjawab tidak apa-apa. Kerutan mata sayu
di balik kaca matanya membuat bibirku kelu untuk berkata dan selalu membalasnya
dengan senyuman lebar gigi berkawatku.
Benar saja, malam itu
kita hanya makan berdua tanpa sahabatku. Sahabat itu menolak ikut karena kita
terlalu lama datang. Mungkin seharian kita terlalu banyak berpergian dan
menghabiskan waktu berdua karena kami sadar waktu ‘berkualitas’ semacam ini
tidak setiap hari kita punya. Betapa senang saya mengiris roti dan isi burger
raksasa yang kita idam-idam sejak lama, walaupun rasanya biasa saja. Yang saya
ingat, saya sangat senang karena bisa melihat pria itu lagi setelah hampir
lupa wajahnya.
Setelah irisan burger itu
habis, saya dengannya membicarakan musik yang kita dengar sekarang, soal
rencanya membuat akun last.fm atau sekedar mengobrolkan rekan kerjanya di
tengah laut sana. Entah bagaimana, rentetan obrolan itu sampai pada titik
basa-basi. Saya memulai pertanyaan basa-basi ala saya.
“Kalau di Jakarta emang
biasanya jalan ke mall sendiri ya? Nonton juga sendiri terus?”
“Iya... sendiri kok.”
“Sumpah? Demi Allah?”
Pria itu mengrenyitkan
dahi, mengabaikan uluran tangan saya dan berbalik bertanya.. kenapa? Dengan
rasa takut, bukan takut olehnya.. melainkan takut dengan jawaban yang ia akan
berikan. Bibir saya dengar lirih berkata, “Aku melihat tiket-tiket bioskop yang
berserakan di meja rumahmu. Tiket bioskop itu sepasang-sepasang. Jadi? Dengan
siapa?”
Ah saya benar-benar takut!
Takut karena tiket? Sampai saya menutup mata menunggu jawaban, padahal telinga
saya yang mendengar. Setelah tertegun lama, pria itu menjawab. Jawaban itu mengerikan. Mengerikan seperti pengumuman ketidaklulusan seorang
siswa, menyedihkan seperti mendengar orang yang paling kamu sayangi meninggal.
Jawaban itu... seketika membuat bibir saya rapat berganti tangis. Lingkar dada
saya seperti bertambah sepuluh senti, menjadikan saya sesak sulit untuk
bernafas. Pria si penjawab pertanyaan itu mengajak saya pulang, mungkin dia malu dengan pengunjung kafe
yang lumayan ramai malam itu.
Di ruang tamu, pria itu
masih diam. Saya terisak. Pria itu masih diam. Saya masih juga terisak. Di
tengah isak tangis itu, saya bertanya-tanya apa saya pernah menyakiti hati
orang lain sedemikian rupa, sehingga pria ini membalasnya dengan beribu pedih.
Entah, mungkin iya.
Maafkan saya, siapa pun.
Oh Tuhan.. karma itu ada
untuk saya, kamu atau dia.
Yogyakarta, 16 September
2014
put ini true storymu?
BalasHapussabar yak,aku jadi ikut sedih :-(
Fadhil where have u been?!
HapusWelah ojok melu sedih, cuma media katarsis biar nggak gila :'D
Put sek sabar yo. kwe kudu sinau karo Dika nek masalah kesabaran :)
BalasHapusSiap anes aku wis diwarahi sabar ro mbak GiJu :D
Hapus