Selasa, 06 Agustus 2013

Jatuh Cinta Itu (seharusnya) Biasa Saja

Pernah denger judul di atas? Iya, itu judul lagu. Salah satu karya Efek Rumah Kaca yang saya kagumi, terutama liriknya. Saya putar ketika sepi, seperti dalam perjalanan pulang saya Jogja-Semarang. Kira-kira seperti ini bunyinya.
Kita berdua hanya berpegangan tangan
Tak perlu berpelukan
Kita berdua hanya saling bercerita
Tak perlu memuji

Kita berdua tak pernah ucapkan maaf
Tapi saling mengerti
Kita berdua tak hanya menjalani cinta
Tapi menghidupi

Ketika rindu, menggebu-gebu, kita menunggu
Jatuh cinta itu biasa saja
Saat cemburu, kian membelenggu, cepat berlalu
Jatuh cinta itu biasa saja


Jika jatuh cinta itu buta
Berdua kita akan tersesat
Saling mencari di dalam gelap
Kedua mata kita gelap
Lalu hati kita gelap
Hati kita gelap
Lalu hati kita gelap
Deretan kata itu bermakna bagi saya. Seakan (mencoba) membantu saya untuk menyelaraskan diri dengan tuntunan agama dalam memaknai cinta kepada lawan jenis. Saya bukan sehebat orang yang diharapkan dalam lagu itu, kadang sangat berat untuk menyetir perasaan yang dalam kepada seseorang yang sangat berarti untuk saya. Tapi, saya mencoba :)
Malam ini, saya bertemu dua sahabat lama saya. Teman pekat (red: konco kentel) sewaktu duduk di bangku SMA, Ibing dan Rio. Kita selalu punya agenda bertemu pada ramadhan tiap tahun dengan bahasan dan topik yang berbeda. Mungkin hanya sekadar melihat guratan kedewasaan yang kami ukir di masing-masing wajah kami. Sangat menyenangkan, teduh dan agak ngantuk, hahahaha kita mengobrol sampai jam 12 malam.
Ibing bercerita seputar kegalauan akademik, soal IPK yang tak kunjung tiga dan berapa lagi angka D yang harus diintegralkan dalam transkrip nilainya. Saya memahami, menjadi dokter gigi mungkin bukan suatu hal yang mudah untuk tiap orangnya. Rio juga bercerita seputar langkahnya di semester 9, semester injury time untuk ngebut penelitian dan perbaikan beberapa mata kuliah. Ya, kami mahasiswa akhir. Berbeda dari empat tahun lalu, ketika masih haha-hihi dengan muka polos bercanda ria tanpa terlintas arah masa depan yang entah akan ke mana.
Lalu, apa hubungan lagu favorit di playlist saya dan sekelumit pertemuan dengan dua sahabat saya? Hmmm. Kami bertiga bertukar kabar tentang si ini yang sudah menikah lah, si itu yang katanya MBA (married by accident) lah, si itu yang tiba-tiba sekarang sudah punya anak lah. Kalian tau kan? Nggak akan ada habisnya membahas soal ini, meskipun obrolan ini lintas gender. Saya wanita dan mereka berdua lelaki, membicarakan kabar (dan nasib) teman lama dengan pasangannya sekarang.
Intinya.... kadang perlu disayangkan, pemaknaan cinta yang cekak oleh kaum muda. Muda, bukan karena umur namun karena belum secara dewasa memaknai cinta itu. Teringat tulisan di note facebook saya dua tahun lalu, tentang pemaknaannya secara tersirat dan tersurat. Saya sering berpikir kepada mereka yang seolah pamer pada dunia, ketika mereka jatuh cinta. Apakah....
Kalau jatuh cinta itu.... harus dua-dua-an terus ya?
Kalau jatuh cinta.... harus secara fisik dan vokal diumbar ya?
Kalau rindu.... harus segera bertemu?
Kalau cemburu.... harus berapi-api?
Kalau jatuh cinta.... harus buta? Sampai kedua mata gelap dan masa depan jadi taruhan?



Jatuh cinta itu, seharusnya biasa saja.

2 komentar:

  1. cinta itu masalah klasik yg tiada habisnya. menjadi menarik saat saya melihat cinta dari sudut pandang penulis. mengalir dan apa adanya. mungkin dipengaruhi jg oleh jam terbang penulis dlm hal cinta. hehehe. saya jg prihatin dng fenomena married by accident, bunuh diri karena patah hati dan sifat berlebihan dlm memaknai cinta. memang jatuh cinta itu seharusnya biasa saja...

    BalasHapus
  2. saya juga prihatin melihat fenomena percintaan saya dan anda "sang penulis"
    memang jatuh cinta itu, seharusnya biasa saja :3

    BalasHapus

Feel free to comment here, with clear name :)

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...