Pernah denger judul di atas? Iya, itu judul lagu. Salah satu
karya Efek Rumah Kaca yang saya kagumi, terutama liriknya. Saya putar ketika
sepi, seperti dalam perjalanan pulang saya Jogja-Semarang. Kira-kira seperti ini bunyinya.
Kita berdua hanya berpegangan tangan
Tak perlu berpelukan
Kita berdua hanya saling bercerita
Tak perlu memuji
Kita berdua tak pernah ucapkan maaf
Tapi saling mengerti
Kita berdua tak hanya menjalani cinta
Tapi menghidupi
Ketika rindu, menggebu-gebu, kita menunggu
Jatuh cinta itu biasa saja
Saat cemburu, kian membelenggu, cepat berlalu
Jatuh cinta itu biasa saja
Jika jatuh cinta itu buta
Berdua kita akan tersesat
Saling mencari di dalam gelap
Kedua mata kita gelap
Lalu hati kita gelap
Hati kita gelap
Lalu hati kita gelap
Deretan kata itu bermakna bagi saya. Seakan (mencoba) membantu
saya untuk menyelaraskan diri dengan tuntunan agama dalam memaknai cinta kepada
lawan jenis. Saya bukan sehebat orang yang diharapkan dalam lagu itu, kadang
sangat berat untuk menyetir perasaan yang dalam kepada seseorang yang sangat
berarti untuk saya. Tapi, saya mencoba :)
Malam ini, saya bertemu dua sahabat lama saya. Teman pekat (red: konco kentel) sewaktu duduk di
bangku SMA, Ibing dan Rio. Kita selalu punya agenda bertemu pada ramadhan tiap
tahun dengan bahasan dan topik yang berbeda. Mungkin hanya sekadar melihat
guratan kedewasaan yang kami ukir di masing-masing wajah kami. Sangat
menyenangkan, teduh dan agak ngantuk, hahahaha kita mengobrol sampai jam 12
malam.
Ibing bercerita seputar kegalauan akademik, soal IPK yang
tak kunjung tiga dan berapa lagi angka D yang harus diintegralkan dalam transkrip
nilainya. Saya memahami, menjadi dokter gigi mungkin bukan suatu hal yang mudah
untuk tiap orangnya. Rio juga bercerita seputar langkahnya di semester 9,
semester injury time untuk ngebut
penelitian dan perbaikan beberapa mata kuliah. Ya, kami mahasiswa akhir. Berbeda
dari empat tahun lalu, ketika masih haha-hihi dengan muka polos bercanda ria
tanpa terlintas arah masa depan yang entah akan ke mana.
Lalu, apa hubungan lagu favorit di playlist saya dan
sekelumit pertemuan dengan dua sahabat saya? Hmmm. Kami bertiga bertukar kabar
tentang si ini yang sudah menikah lah, si itu yang katanya MBA (married by accident) lah, si itu yang tiba-tiba
sekarang sudah punya anak lah. Kalian tau kan? Nggak akan ada habisnya membahas
soal ini, meskipun obrolan ini lintas gender. Saya wanita dan mereka berdua
lelaki, membicarakan kabar (dan nasib) teman lama dengan pasangannya sekarang.
Intinya.... kadang perlu disayangkan, pemaknaan cinta yang
cekak oleh kaum muda. Muda, bukan karena umur namun karena belum secara dewasa
memaknai cinta itu. Teringat tulisan di note facebook saya dua tahun lalu,
tentang pemaknaannya secara tersirat dan tersurat. Saya sering berpikir kepada
mereka yang seolah pamer pada dunia, ketika mereka jatuh cinta. Apakah....
Kalau jatuh cinta itu.... harus dua-dua-an terus ya?
Kalau jatuh cinta.... harus secara fisik dan vokal diumbar
ya?
Kalau rindu.... harus segera bertemu?
Kalau cemburu.... harus berapi-api?
Kalau jatuh cinta.... harus buta? Sampai kedua mata gelap
dan masa depan jadi taruhan?
Jatuh cinta itu, seharusnya biasa saja.